Mathematics Education '10

Mathematics Education '10

Monday, November 4, 2013

Pemikiran Para Tokoh-Tokoh Filsafat

Perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika yang diberikan oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A pada tanggal 28 Oktober 2013 membahas tentang pemikiran para tokoh-tokoh filsafat dari jaman yunani kuno hingga modern. Inilah sedikit refleksi dari perkuliahannya:

Mengalirnya ide-ide filsafat dari jaman dahulu hingga sekarang tak luput dari peran tokoh-tokoh filsafat dari jaman Yunani kuno hingga jaman modern. Ide-ide ini berasal dari pemikiran setiap manusia yang bersifat normatif. Prof. Dr. Marsigit, M.A dalam perkuliahan pernah menerangkan bahwa tingkatan dari yang terendah hingga yang tertinggi yaitu material (bahan), formal (bentuk tulisan), normatif (keilmuan), dan spiritual (doa). Filsafat dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang tetap dan bagian yang terbuka. Bagian yang tetap ini diperoleh dari pemikiran Permenides dan bagian yang tetap diperoleh dari pemikiran Heraklitos. Berbicara tentang hakekat (ontologi), pendekatan (epistemologi), dan nilai (aksiologi), munculah tokoh-tokoh lain selain Permenides dan Heraklitos, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato ini sepakat dengan pemikiran Permenides yaitu filsafat bersifat tetap. Pemikiran Plato lebih condong kearah logikakarena logika bersifat tetap, dan Plato juga menganut paham idealism (idealism). Berbeda dengan Aristoteles, tokoh filsafat ini sepakat dengan pemikiran Heraklitos yakni filsafat bersifat berubah-ubah. Aristoteles lebih condong ke pengalaman, bukan kearah logika, karena pengalaman itu bersifat berubah-ubah tidak seperti logika yang bersifat tetap. Aristoteles ini menganut paham realism (realism).

Socrates juga merupakan tokoh filsafat dari Yunani, kemudian muncul lagi yaitu Descrates dan David Hume. Descrates setuju dengan aliran filsafat yang bersifat tetap, dan Descrates juga menganut paham rasionalisme (rasionalism). Pemikiran David Hume sama dengan pemikiran Heraklitos dan Aristoteles. David Hume menganut paham empirisme (empirism). Jadi semua tokoh ini memiliki daerahnya masing-masing, atau dengan kata lain mereka mempunyai pemikiran masing-masing namun berpegangan kepada salah satu filsafat yang bersifat tetap atau berubah-ubah. Kemudian terjadilah konflik besar di dunia filsafat akhirnya muncul satu tokoh yang dapat mendefinsikan ilmu dari segi filsafat, yaitu Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, segala yang tetap itu bersifat analitik, analitik memiliki hukum identitas dimana A = A atau bisa disebut juga Apriori. Menurut beliau juga, segala yang berubah-ubah itu bersifat sintetik (menghasilkan sesuatu yang baru). Dimana sintetik itu memiliki hukum kontradiktif yaitu A ≠ A, sintetik ini bisa disebut juga Aposteriori. Menurut Immanuel Kant, ilmu haruslah apriori dan juga aposteriori, maka ilmu itu harus bersifat sintetik apriori. Orang-orang hingga saat ini masih melakukan sintetik apriori. Melakukan penelitian dengan cara melihat dan mengamati (sintetik), kemudian dipikirkan dan dianalisis (apriori). Hidup kita pun juga sintetik aprori.

Singkat cerita, muncullah Auguste Comte yang menolak filsafat. Pemikiran Auguste Comte ini merupakan pemikiran filsafat, beliau berfilsafat dengan menolak filsafat terdahulu dengan paham yang dianutnya yaitu paham positivifisme (positivism). Setelah memasuki jaman modern, untuk matematika munculah Hilbert yang membuat matematika formal, matematika aksiomatis, dan matematika murni (pure mathematics). Namun, pemikiran Hilbert ini dibantah oleh muridnya sendiri yaitu Godel. Godel berpendapat bahwa matematika itu konsisten tidak tunggal jika tidak lengkap. Pendapat Hilbert menunjukkan bahwa matematika itu konsisten dan lengkap. Kedua tokoh ini juga menganut aliran Permenides yaitu filsafat yang tetap. Sedangkan penganut filsafat yang berubah-ubah diteruskan ke jaman modern menjadi ilmu-ilmu humaniora contohnya yaitu ilmu agama, sosial, pendidikan, seni, dll. Pada jaman sekarang ini, telah dibuat kurikulum baru yaitu kurikulum 2013. Kurikulum 2013 ini mendapat penekanan dari kedua filsafat itu, dan artinya kemenangan diperoleh dari pihak Permenides. Dari sisi filsafat, paham Permenides ini telah menguasai segala macam medan pertempuran pendidikan termasuk P4TK Yogyakarta, karena kepala P4TK yaitu dari lulusan pure mathematics. Jika kita gambarkan, maka akan muncul peta yang jujur yaitu dalam bentuk Technological Fragmatis, Industrial Tinner, dan Konservatif. Tiga langkah ini masih ditambah dengan Public Educator dan Progressif. Maka jika kita lihat kesana, isi kurikulum 2013 ini semuanya adalah berdasarkan ketiga langkah ini. Semoga dengan adanya kurikulum 2013 ini dapat memajukan pendidikan di Indonesia.

Thursday, June 13, 2013

Etnomatematika Sebagai Inovasi Pembelajaran Matematika

Etnomatematika, ilmu yang erat kaitannya dengan matematika pada suatu etnis atau masyarakat tertentu, juga dapat berkontribusi untuk mendukung pembelajaran yang inovatif, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center). Prof. Dr. Marsigit, M.A selalu berpesan kepada kami bahwa pembelajaran yang masih berpusat pada guru itu adalah pembelajaran yang sudah sangat tradisional, sehingga sebagai calon guru marilah kita beralih dari guru yang hanya mentransfer ilmu menjadi guru yang menjadi fasilitator siswa, guru yang memberdayakan siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa ini bersesuaian dengan paradigma teori pembelajaran kontruktivis, misalnya CTL (Contextual Teaching Learning), beliau juga berperan dalam mengembangkan pembelajaran berbasis CTL ini, karena beliau mengembangkan pendekatan ini dengan pengertian ontologis, yaitu yang pertama adalah “terkait”, dan yang kedua adalah “persiapan”. Dalam rangka agar seseorang siap, segala sesuatunya harus terkait dengan hal-hal yang lain. Karena manusia tidak bisa berpikir jika mereka terisolasi dan manusia tidak dapat hidup jika mereka terisolasi pula.

Sebagai wujud pembelajaran yang berpusat pada siswa, Prof. Dr. Marsigit, M.A mengembangkan suatu web blog agar mahasiswa aktif. Beliau menekankan pada mahasiswa agar mengembangkan paradigma belajar yang continually, belajar secara terus-menerus, dimanapun dan kapanpun. Kemandirian subjek didik, baik siswa maupun mahasiswa itu diawali dengan kemerdekaan menyatakan pendapat. Jadi, berpikir berbeda itu sangat boleh dan disarankan. Sebagai seorang guru dan dosen, beliau tidak menyarankan jika pengetahuan siswa harus setara dengan pengetahuan gurunya, justru harus saling melengkapi satu sama lain.

Berkaitan dengan etnomatematika, dari unsur kata, etnomatematika terdiri dari etno dan matematika. Matematika adalah ilmu matematika, etno adalah semacam etnik, konteks budaya lokal, atau konteks budaya sesuai dengan masyarakatnya. Etnomatematika jika dilihat dari struktur bahasa belum menunjukkan atau belum terarah kepada pendidikan, etnomatematika masih bersifat umum/netral dan dapat dikaji oleh matematikawan murni. tetapi etnomatematika juga dapat dikembangkan oleh orang-orang pendidikan. Ini berarti matematika dalam sejarahnya tumbuh dari peradaban manusia, dan peradaban manusia itu tidak akan ada hentinya. Selama manusia itu hidup, maka selama itu pula peradaban akan tumbuh dan berkembang.

Etnomatematika dalam konteks sejarah mengandung tiga unsur, yang pertama adalah masyarakat, kedua adalah sejarah, dan ketiga adalah matematika itu sendiri. Masyarakat melalui pemikiran, gagasan, idenya bisa menjadi dasar atau fundamen dari pengembangan pembelajaran matematika. Melalui sejarahnya dari jaman Mesopotamia, Babylonia, Mesir kuno, Yunani kuno, jaman pertengahan, penemuan kalkulus, geometri modern hingga sekarang, etnomatematika juga ikut andil dalam perkembangan matematika. Dengan demikian jika melalui matematikawan murni yang dalam konteks bukan kepentingan pendidikan, bisa menggunakan etnomatematika untuk memperoleh inspirasi dalam pengembangan matematika. Dari referensi-referensi yang ada, kita dapat melihat kriteria-kriteria yang tergolong dalam etnomatematika yaitu lambang, tertulis, artefak, dan value. Dari sini timbul pertanyaan, apakah etnomatematika merupakan suatu ilmu? Kriteria ilmu menurut Emanuel Kant adalah ilmu harus bersifat Sintetik Apriori. Matematika murni menurut Emanuel Kant bukan merupakan ilmu, karena matematika murni tidak bersifat Sintetik Apriori, melainkan Analitik Apriori yang hanya dalam dunia pikiran. Matematika murni kebenarannya hanya mengandalkan konsistensi dari ide satu ke ide yang lain. Sedangkan Sintetik ini harus didukung dengan pengalaman, dan apriori harus didukung dengan logika. Etnomatematika akan menjadi merupakan ilmu jika memenuhi syarat yaitu dipikirkan menggunakan metodologi dan berdasarkan pengalaman.

Di dalam ilmu pengetahuan, pada ujungnya harus ada “kategori”. Manusia bisa membedakan jauh-dakat, besar-kecil, tinggi-rendah, sedikit-banyak, dll karena manusia mempunyai kategori didalam pikirannya yang diperoleh dari intuisi, dan intuisi ini diperoleh dari pengalaman. Contohnya seorang bayi yang baru lahir akan mempunyai banyak pengalaman dan intuisinya akan tumbuh dan berkembang. Semua bentuk karya ilmiah, paper, makalah, skripsi, tesis, dan disertasi, sumber-sumber ilmunya harus memiliki kategori/kriteria. Jika pada sumber tidak ditemukan kriteria secara eksplisit, berarti kriteria tersebur tersirat secara implisit. Kriteria dapat ditemukan dengan cara mengadakan research (penelitian). Peneliti atau researcher yang bertaraf internasional haruslah orang yang telah memiliki gelar Doktor ataupun Profesor, jika ukuran penelitian hingga bataraf jurnal, maka penelitian harus berkolabirasi dengan Doktor maupun Profesor agar penelitian tersebut akuntabel. Jika kita ingin berkontribusi menjadikan etnmatematika menjadi ilmu, maka kita harus mengajukan penelitian tersebut.

Etnomatematika yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran, secara ontologi atau secara hakiki yaitu hakekat ilmu harus memiliki objek. Objek etnomatematika adalah semua gagasan atau ide yang berada di dalam masyarakat atau fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Fenomena itu berdimensi, mulai dari dimensi terang hingga dimensi tidak tampak, dimensi lunak hingga dimensi kuat (strong and strategic). Misalnya Candi Borobudur adalah dimensi yang kuat (strong and strategic), karena Candi Borobudur menyediakan informasi dan objek-objek etno yang cukup kaya. Kepedulian kita mempelajari etnomatematika dengan cara kita harus mengetahui kedudukan/statusnya. Etnomatematika menyediakan variasi sumber belajar, variasi kegiatan, variasi pengalaman, ataupun variasi konteks, berdasarkan variasi tersebut, etnomatematika berada di dunia konkret atau di dunia anak-anak. Disini peran guru sangatlah penting dalam proses pembelajaran, namun dalam dunia konkret ini masih sering ditemui problem-problem yang korbannya adalah siswa.

Problem pembelajaran matematika bukan disebabkan oleh siswa, namun disebabkan oleh orang dewasa selaku guru, orang tua, orang-orang yang mengambil kebijakan seperti kepala sekolah, dinas pendidikan, hingga menteri sekalipun. Karena mereka berpikiran bahwa matematika adalah ilmu yang disusun secara deduksi yang bersifat abstrak. Ini merupakan bencana bagi siswa. Kemudian tujuan pendiidkan yang mengacu kepada “ujian nasional oriented” ini juga menambah beban siswa. Ketidakpekaan orang dewasa inilah yang telah terjadi pada pembelajaran matematika sekarang. Pendidikan kita sekarang telah kehilangan intuisi karena para pendidik hanya member definisi-definisi yang masih bersifat abstrak bagi siswa. Maka matematika pada tingkat pertama didefinisikan sebagai pengalaman, sebagai kegiatan dan dari pengalaman ini akan muncul intuisi.

Etnomatematika adalah dunia inovasi pedidikan dan pembelajaran, maka hal ini tergantung pada sikap dan pemikiran para guru. Dari sisi kurikulum, ada tiga posisi guru, yaitu, pertama sebagai guru sebagai pelaksana, yang kedua guru sebagai partisipan, dan yang ketiga guru sebagai pengembang. Syarat agar seseorang guru yang berinovasi pembelajaran adalah guru yang bercita-cita menjadi pengembang kurikulum, bukan hanya sekedar pelaksana saja. Guru pengembang adalah guru researcher (peneliti). Guru peneliti ini sangat cocok dengan etnomatematika. Sebagai calon guru, mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi seorang peneliti. Maka dari itu mahasiswa harus memiliki banyak pengalaman dan bacaan agar terbentuklah mental dan jiwa seorang peneliti dan harapannya kelak menjadi pendidik yang selalu dapat memberikan inovasi pembelajaran yang memajukan pendidikan di Indonesia.

Wednesday, June 12, 2013

Matematika dalam Bahasa

Menurut Galileo Galilei (1564-1642), seorang ahli matematika dan astronomi dari Italia,"Alam semesta itu bagaikan sebuah buku raksasa yang hanya dapat dibaca kalau orang mengerti bahasanya dan akrab dengan lambang dan huruf yang digunakan di dalamnya. Dan bahasa alam tersebut tidak lain adalah matematika. Berbicara mengenai matematika sebagai bahasa, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah dalam sudut pandang mana matematika itu disebut sebagai bahasa, dan apa perbedaan antara bahasa matematika dengan bahasa-bahasa lainnya. Merujuk pada pengertian bahasa tersebut, maka matematika dapat dipandang sebagai bahasa karena dalam matematika terdapat sekumpulan lambang/simbol dan kata (baik kata dalam bentuk lambang, misalnya "≥" yang melambangkan kata "lebih besar atau sama dengan", maupun kata yang diadopsi dari bahasa biasa, misalnya kata "fungsi" yang dalam matematika menyatakan suatu hubungan dengan aturan tertentu antara unsur-unsur dalam dua buah himpunan).

Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Simbol-simbol matematika bersifat "artifisial" yang baru memiliki arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu, maka matematika hanya merupakan kumpulan simbol dan rumus yang kering akan makna. Berkaitan dengan hal ini, tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan, banyak orang yang berkata bahwa X, Y, Z itu sama sekali tidak memiliki arti.

Orang Jawa memiliki cara yang khas untuk mengingat tahun, terutama tahun terjadinya peristiwa penting. Misalnya, sirna ilang kertaning bumi merujuk pada tahun 1400 Masehi, yaitu runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kalimat tersebut disebut sengkalan, bilangan-bilangan dalam sengkalan ini dituliskan dari kiri ke kanan. Masing-masing kata dalam kalimat tersebut memiliki watak bilangan, yaitu sirna = 0, ilang = 0, kertaning = 4, dan bumi = 1. Tahun yang dirujuk oleh sengkalan adalah Tahun Saka dalam kalender lunar (candra) maupun solar (surya). Dalam bahasa asing, sengkalan disebut dengan chronogram. Artinya tulisan/pernyataan yang mengandung makna angka tahun. Meski demikian, sengkalan tidak terbatas pada tulisan, tetapi juga pada gambar. Sengkalan bentuk gambar biasanya terdapat pada bangunan candi atau istana. Sengkalan yang berbentuk tulisan biasanya terdapat dalam naskah Jawa kuno.

Adapun beberapa contoh Watak (sifat) setiap kata adalah sebagai berikut :

Watak 1: Gusti Allah, Nabi, Janma, Srengenge, Rembulan, Bumi, Lintang, Sirah, Gulu, Nata, Irung, Ati, Bunder, Iku, Urip, Aji, Praja, Tunggal, Wutuh, Nyata, Eko, dll.
Watak 2: Tangan, Suku, Mripat, Swiwi, Alis, Penganten, Kembar, Nembah, Nyawang, Nyekel, Mireng, Lumaku, Mabur, Dwi dll.
Watak 3: Geni, Murub, Panas, Putri, Estri, Welut, Jurit, Kaya, Lir, Guna, Cacing, Sorot, Tri, dll.
Watak 4: Banyu, Segara, Kali, Kreta, Keblat, Karya, Bening, Brahmana, Satriya, Sudra, Catur, dll.
Watak 5: Buta, Angin, Alas, Jemparing, Tata, Pandawa, Panca, dll.
Watak 6: Rasa (legi, pait, asin), Tawon, Lemut, Obah, Wayang, Mangsa, Kayu, Sad, dll.
Watak 7: Gunung, Tunggangan, Pandita, Swara, Guru, Mulang, Sapta, dll.
Watak 8: Gajah, Naga, Baya, Wasu, Pujangga, Tekek, Kadal, Ngesthi, Wanara, Astha, dll.
Watak 9: Lawang, Gapura, Guwa, Jawata, Menga, Ganda, Terus, Nawa, dll.
Watak 0: Suwung, Sirna, Rusak, Tanpa, Ilang, Mati, Muluk, Duwur, Awang-awang, Suwarga, Langit, Adoh, Dasa, dll.


Jadi, matematika itu sangat erat kaitannya terhadap bahasa. sejak awal kehidupan manusia matematika itu merupakan alat bantu untuk mengatasi berbagai macam permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Baik itu permasalahan yang masih memilki hubungan erat dalam kaitannya dengan ilmu eksak ataupun permasalahan-permasalahan yang bersifat sosial.

Monday, March 4, 2013

Keterampilan dan Kreativitas Seorang Guru

Etnomatematika, ilmu yang erat kaitannya dalam kehidupan sehari-hari mengajarkan banyak hal tentang cara pembelajaran matematika yang baik dan benar. Misalnya Pembelajaran inovatif, pembelajaran yang terpusat pada siswa. Prof. Dr. Marsigit, M.A selalu mengingatkan kembali tentang pentingnya metode pembelajaran inovatif ini. Kita sebagai calon guru penting sekali untuk membuka wawasan tentang pembelajaran inovatif. Mengapa? Karena sering terjadi hal yang fenomenal dalam pembelajaran pada umumnya, khususnya matematika yaitu ketakutan siswa akan guru pengampu mata pelajaran matematika. Peristiwa ini sangat fenomenal sekali dari mulai jenjang SD, SMP hingga SMA bahkan Perguruan Tinggi, hal ini dapat membuat kondisi kelas menjadi gaduh apabila guru tidak berada dalam kelas saat pembelajaran berlangsung dan kondisi kelas menjadi sepi sekaligus mencekam jika guru sedang menerangkan mata pelajaran tersebut. Ini sebenarnya salah kaprah, kondisi kelas yang sepi atau gaduh tersebut bukanlah menjadi suatu indikator, tujuan ataupun ciri-ciri pembelajaran matematika yang baik namun adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh guru tersebut kepada siswa yang diajarnya. Maka dari itu penting bagi kita membuka wawasan terkait lesson study atau belajar tentang cara-cara pembelajaran yang baik. Dari guru, untuk guru, dan oleh guru.

Pendidikan itu jangka panjang, artinya selama kita masih memiliki akal, kita akan mencoba untuk selalu belajar. Dari perjalanan panjang kita selama ini dalam memperoleh pendidikan, kompleksitas masyarakat yang ada sekarang ini telah menjadi masyarakat yang memiliki bermacam-macam pola yang tentunya tidak seragam, ada tipe orang mau mengerti bila dipaksa. Tipe semacam ini pemahamannya pasti tidak akan tahan lama atau bisa dikatakan hanya sementara dan semu belaka. Ada pula tipe orang yang memiliki kreativitas yang tinggi, kreativitas itu sudah ditentukan sejak kita kecil, kepandaian kita bicara, menulis itu bukan semata-mata karena gen kita, melainkan keterampilan kita yang diasah terus-menerus dan usaha keras kita selama ini. Keterampilan berbicara, menulis, yang kita asah terus-menerus ini kelak akan sangat bermanfaat bagi diri kita sendiri dan orang lain.

Menurut Prof. Dr. Marsigit, M.A belajar dengan cara menghafal, mengerjakan soal, belajar tentang ilmu dunia, spiritual merupakan metode belajar yang telah diterapkan pada umumnya. Beliau telah menemukan formula yang paling baik dalam metode belajar, yaitu silaturahmi (terjemah dan menerjemahkan) atau dalam bahasa yunani yaitu ermentika. Jadi jika kita ingin mempelajari segala sesuatu, kita harus bersilaturahmi dengan apa yang akan kita pelajari. Karena silaturahmi itu memenuhi semua unsur karya ilmiah. Beliau juga mengatakan tentang problem pendidikan matematika yang sebenarnya sumbernya adalah berasal dari orang dewasa atau dengan kata lain guru bukan berasal dari siswa. Seorang guru hendaknya tidak boleh mengatakan bahwa “saya bukan orang yang kreatif”, kalimat seperti itu akan menyebabkan atau dengan kata lain kita telah mendaftarkan diri mejadi problem maker. Problem maker itu tidak akan bisa menjadi solve maker. Maka, kita harus segera menyadari pentingnya rasa optimis akan kemampuan kita dalam hal apapun. Janganlah menjadi problem maker, karena itu sangat merugikan diri sendiri dan orang lain. Semua tergantung apa yang kita pikirkan. Jika kita berpikir untuk gagal, maka kita akan gagal. Jika kita berpikir untuk sukses, maka kita akan sukses, dan jika kita berpikir untuk menjadi guru yang kreatif, maka kita akan menjadi seorang guru yang kreatif.

Tuesday, February 26, 2013

Etnomatematika Sebagai Cerminan Diri

Perkuliahan pertemuan kedua masih membahas tentang seluk beluk Etnomatematika. Mulai dari pengertiannya, manfaat belajar Etnomatematika, hingga cara mempelajari Etnomatematika. Prof. Dr. Marsigit, M.A menekankan kembali mengenai pembelajaran inovatif dan menyarankan untuk meninggalkan metode pembelajaran tradisional. Metode pembelajaran matematika kata beliau adalah cerminan dari diri kita sendiri, pembelajaran inovatif adalah diri kita sendiri, pembelajaran tradisional adalah diri kita sendiri juga, otoriter, demokratis juga berasal dari diri kita sendiri. Maka dari itu kita koreksi dahulu diri kita sendiri, baru kita berbicara ke orang lain. Jangan terlalu memikirkan orang lain dahulu, pikirkanlah diri kita sendiri dulu hingga terbentuk pribadi yang tangguh, sama halnya dengan Etnomatematika, Etnomatematika adalah diri kita, diri pribadi kita, diri kita sendiri sekarang. Apa yang kita pikirkan, yang kita gambarkan, ikhtiar kita, usaha, dan karya kita itu adalah Etnomatematika. Jika kita sudah meyakini, melakukan, mempunyai hasil yang baik, apapun sistemnya kita akan menjadi manusia yang tangguh. Menyikapi kurikulum yang sering sekali berubah, jika kita memiliki sifat ini kita tidak akan mudah goyah sebagai seorang pendidik.

Etnomatematika juga memiliki sifat maknawi, hakiki dan ontologis. Etnomatematika menjadi sesuatu yang ontologis manakala dia melekat sebagai suatu keadaan dan sifat yang memang bermanfaat. Bahasa dalam Etnomatematika juga bermacam-macam tergantung wilayah atau daerah mana yang memakainya. Peran bahasa indonesia di internasional cukup besar pula. Prof. Dr. Marsigit, M.A pernah mengkaji mengenai peran Bahasa Indonesia terhadap salah atau jeleknya globalisasi sekarang ini. Contohnya kata “fraction” dalam bahasa inggris jika diartikan dengan google translate ke bahasa indonesia artinya adalah “bilangan pecahan”, namun jika kita translate kembali ke bahasa inggris maka akan didapat kata “broken number”. Ini mebuktikan bahwa globalisasi akan memakan habis kecerdasan local (local genius). Maka peran bahasa sangatlah penting di ranah internasional.

Menurut David, seorang tokoh dari Warwick University, Etnomatematika bukan sekedar bahasa, melainkan bentuk matematika yaitu proses dan konsep. Kita sebagai pendidik harus mengerti dan dapat membedakan suatu objek dilihat dari formal dan substansinya. Dengan kata lain formal adalah wadahnya, dan substansi adalah isi dari wadah tersebut. Misal, 2+3=5. Konsepnya adalah jumlah atau penjumlahan, namun Prosesnya adalah operasi penambahan. Misalnya lagi, membedakan antara derivatif dan diferensial. Maka yang menjadi konsepnya adalah diferensial, dan yang menjadi preosesnya adalah derivatif. Halus dan lembut perasaan kita, secara teliti, sopan santun akan dapat memaknai antara wadah dan isi, atau antara formal dan substansi. Telah terjadi krisis yang maha besar di Indonesia mengenai mencocokkan antara wadah dan isi. Yaitu telah meenjamurnya kasus korupsi.

Ilmu yang mempelajari Etnomatematika adalah Etnografi. Etnografi ini mengkaji dalam bidang kualitaif dan deskriptif. Namun kebanyakan adalah studi kualitatif. Etnografi juga lebih ditekankan dalam studi riset. Riset yang khusus, spesifik, small, atau dengan kata lain yaitu studi kasus. Disini kita dituntut untuk dapat memikirkan populasi dan sampel yang berdimensi dan fleksibel. Yaitu contohnya populasi kegiatan, populasi data-data, populasi pikiran, kata-kata, kalimat. Kita dapat mengambil contoh dari merekam suatu ritual kelompok masyarakat di pulau Bali, contohnya peristiwa Galungan, Nyepi, apakah ada perhitungan matematisnya atau tidak. Jadi manfaat mempelajari Etnomatematika yaitu agar kita bisa berkontribusi kepada pembelajaran matematika yang inovatif yang sedang kita kerjakan.